Jakarta, 09/9 (ANTARA) - Nickel Industries Limited, salah satu pemasok nikel terbesar di dunia, menyoroti kesalahpahaman terkait pertambangan dan deforestasi pada gelaran International Critical Minerals & Metals Summit di Nusa Dua, Badung, Bali. Dalam kesempatan tersebut, Head of Sustainability Nickel Industries Limited, Muchtazar, membahas isu mendesak tentang deforestasi dan menantang keyakinan umum bahwa pertambangan merupakan penyebab utama deforestasi di Indonesia. "Bertentangan dengan kepercayaan umum, pertambangan bukanlah penyebab utama deforestasi," ujar Muchtazar dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin. Muchtazar menjelaskan bahwa pada tahun 2023, kurang dari 1 juta hektare lahan di Indonesia digunakan untuk pertambangan. Dengan total luas daratan Indonesia sekitar 190 juta hektare, dan sekitar 63 persen di antaranya diklasifikasikan sebagai kawasan hutan, yakni sekitar 120 juta hektare, maka kegiatan pertambangan hanya mencakup sekitar 0,5 persen dari total luas daratan atau hampir 1 persen dari kawasan hutan di negara ini. "Ini menunjukkan bahwa kontribusi pertambangan terhadap deforestasi relatif kecil jika dibandingkan dengan luas kawasan hutan di Indonesia," ujar Muchtazar. Lebih lanjut, ia menekankan pentingnya sektor pertambangan dalam ekonomi Indonesia, yang menyumbang lebih dari 10 persen dari produk domestik bruto (PDB) nasional pada tahun 2023. "Sektor pertambangan menyediakan bahan dan bahan bakar penting yang dibutuhkan dunia dan memainkan peran krusial dalam ekonomi kita," tambahnya. Muchtazar menyerukan perlunya evaluasi berdasarkan data yang akurat dan perspektif yang seimbang untuk memastikan pembangunan berkelanjutan yang menyelaraskan pertumbuhan ekonomi dengan pelestarian lingkungan. "Dengan mendasarkan evaluasi pada data yang akurat, kita dapat memastikan pembangunan berkelanjutan yang seimbang antara pertumbuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan," tuturnya. Ia juga menambahkan bahwa meskipun perusahaan-perusahaan yang memperhatikan konservasi hutan dan lingkungan umumnya belum mendapatkan harga produk premium di pasar, pelaku bisnis pertambangan yang bertanggung jawab tidak perlu khawatir. "Mereka akan memiliki portofolio investasi yang lebih baik dan kemampuan untuk menjual material tambang ke pasar global yang memiliki standar keberlanjutan tinggi, sehingga dapat mengurangi risiko dalam rantai pasoknya," pungkas Muchtazar.
JAKARTA TERKINI - Nickel Industries Limited, salah satu pemasok nikel terbesar di dunia, menyoroti kesalahpahaman terkait pertambangan dan deforestasi pada gelaran International Critical Minerals & Metals Summit di Nusa Dua, Badung, Bali.
Dalam kesempatan tersebut, Head of Sustainability Nickel Industries Limited, Muchtazar, membahas isu mendesak tentang deforestasi dan menantang keyakinan umum bahwa pertambangan merupakan penyebab utama deforestasi di Indonesia.
Baca juga : ID FOOD dan Pemprov Banten Salurkan 276 Ribu Paket Bantuan Pangan untuk Cegah Stunting
"Bertentangan dengan kepercayaan umum, pertambangan bukanlah penyebab utama deforestasi," ujar Muchtazar dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin.
Muchtazar menjelaskan bahwa pada tahun 2023, kurang dari 1 juta hektare lahan di Indonesia digunakan untuk pertambangan. Dengan total luas daratan Indonesia sekitar 190 juta hektare, dan sekitar 63 persen di antaranya diklasifikasikan sebagai kawasan hutan, yakni sekitar 120 juta hektare, maka kegiatan pertambangan hanya mencakup sekitar 0,5 persen dari total luas daratan atau hampir 1 persen dari kawasan hutan di negara ini.
"Ini menunjukkan bahwa kontribusi pertambangan terhadap deforestasi relatif kecil jika dibandingkan dengan luas kawasan hutan di Indonesia," ujar Muchtazar.
Baca juga : KAI Commuter Tambah Perjalanan Khusus Sambut Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden
Lebih lanjut, ia menekankan pentingnya sektor pertambangan dalam ekonomi Indonesia, yang menyumbang lebih dari 10 persen dari produk domestik bruto (PDB) nasional pada tahun 2023.
"Sektor pertambangan menyediakan bahan dan bahan bakar penting yang dibutuhkan dunia dan memainkan peran krusial dalam ekonomi kita," tambahnya.
Maisya Savinka Achmad
Bagikan